Warna Hitam Yang Dominan di Baju Baduy Luar diartikan Sebagai Simbol Pelanggar Aturan

OkeBerita
0



Pakaian adat orang Kanekes atau Suku Baduy dari Kabupaten Lebak, Banten, menjadi pilihan Presiden Joko Widodo saat menghadiri Sidang Tahunan MPR, Senin (16/8). Presiden mengenakan pakaian berupa atasan hitam atau baju kutung dan celana hitam, dengan lencana merah putih di dada sebelah kiri. Ia juga mengenakan telekung berwarna biru-hitam, sendal berwarna biru, serta tas rajut selempang berwarna cokelat.


Masyarakat suku Baduy biasa mengenakan telekung, yakni ikat kepala yang kadang disebut 'koncer' atau 'roma'. Ikat kepala tersebut merupakan hasil tenun masyarakat Baduy. Sedangkan Kutung adalah baju putih berlengan panjang tanpa kerah, yang juga disebut 'jamang sangsang'.


Sejarawan Asep Kambali mengatakan pakaian yang dipakai Jokowi di Sidang Tahunan MPR itu adalah baju adat suku Baduy Luar. Sebab, baju yang dipakai berwarna hitam dan dijahit rapi mengenakan kancing.


"Baju adat versi Pak Jokowi yang dipakai ini dikenal dengan nama 'jamang hideung kancing batok'. Konteks yang dipakai Pak Jokowi adalah baju adat khas Baduy Luar atau Baduy Panamping," kata Asep kepada Republika.co.id, Senin (16/8).


Asep menuturkan, ikat kepala atau 'Taluang' atau 'Lomar' yang dikenakan warga Baduy Luar terbuat dari bahan kain tenun yang berwarna biru. Warna biru itu diartikan sebagai warna awal atau permulaan, karena orang Baduy percaya bahwa warna biru adalah warna yang keluar dari daun yang ada di pohon-pohon di sekitar mereka.


Selanjutnya, Asep menyebut atasan hitam yang dikenakan Jokowi memiliki rasa yang berbeda dari baju lainnya. Sebab, baju berwarna hitam demikian memperlihatkan kesan yang lebih sederhana dan simpel sekaligus mewakili adat. Orang Baduy memiliki 'jamang bodas' atau 'jamang sangsang' warna putih untuk keseimbangan.


Pakaian adat warga Baduy Luar dominan warna hitam dengan ikat kepala biru tua bermotif batik, baju komprang, dan celana selutut. Warna hitam sebagai ciri dari masyarakat Baduy Luar (Urang panamping).


Adapun warga Baduy Dalam bagi prianya biasanya mengenakan ikat kepala putih, baju pangsi putih, hitam atau kombinasi hitam putih, dan bawahan semacam kain tenun lurik yang bernada hitam yang dililitkan semacam sarung setinggi lutut. Warna putih tersebut diartikan sebagai lambang kesucian dan kejujuran. Sehingga, warna putih hanya dipakai warga Baduy Dalam (Urang Kajeron) yang masih memegang tradisi secara utuh. Adapun kombinasi warna hitam dan putih digunakan karena melambangkan siang dan malam atau gelap dan terang.


"Keseimbangan hitam dan putih dari 'jamang sangsang' Baduy luar dan Baduy dalam itu berlambang dari siang dan malam. Artinya, manusia sejatinya hanya bisa melihat terang dan gelap, dan hidup di siang dan malam," ujarnya.


Orang Baduy Dalam hanya boleh mengenakan sarung dengan jahitan satu arah yang melambangkan hanya adanya satu adat warisan leluhur yang harus diikuti. Masyarakat Baduy Dalam juga biasa membawa tas kantong kain putih dan golok sebagai alat kerja.


Asep mengatakan, ada yang kurang dari pakaian yang dikenakan Jokowi karena tidak membawa golok sebagai bagian dari ciri khas orang Baduy di keseharian mereka. Pakaian Baduy versi Jokowi juga kurang dilengkapi sarung kain biru yang biasa diikat di pinggang.


Selain itu, orang Baduy umumnya bertelanjang kaki atau tidak menggunakan sandal. Namun, ia memaklumi karena Jokowi tidak mungkin telanjang kaki untuk acara kenegaraan demikian.


"Jadi ini lebih ke semacam penghormatan. Bagi saya ini suatu kebanggaan, orang Baduy akan sangat menghargai apa yang dilakukan Pak Jokowi," katanya.


Namun, Asep mengapresiasi Jokowi yang kerap memakai pakaian adat untuk acara kenegaraan seperti Sidang Tahunan MPR dan Upacara Kemerdekaan. Dia juga menyebut


Asep mengapresiasi Jokowi yang kerap memakai pakaian adat untuk acara kenegaraan seperti Sidang Tahunan MPR dan Upacara Kemerdekaan. Dia juga menyebut pakaian adat Baduy versi Jokowi ini sangat elegan. Menurutnya, sebagai kepala negara Jokowi memahami bahwa masyarakat Baduy adalah suku yang hingga saat ini memegang adat dan tradisi, masih menjaga dan hidup berdampingan dengan alam.


"Baduy adalah kemerdekaan yang sesungguhnya. Orang Baduy merdeka, menjaga alam dan hidup berdampingan dengan alam. Itu saya kira pesan terselubung yang mestinya disuarakan kepada masyarakat dunia dan Indonesia. Mari menjaga alam dan budaya karena itu sumber kehidupan kita," tambahnya.


Komunitas adat Baduy memiliki struktur masyarakat yang bisa dikatakan unik. Sebab, terdapat dua komunitas dalam satu wilayah dekat, yakni komunitas adat Baduy Luar dan komunitas adat Baduy Dalam. Warga Baduy Luar tinggal di kawasan yang berbatasan langsung dengan dunia luar. Sedangkan Baduy dalam terlindungi di bagian dalam wilayah adat Baduy.


Sejatinya, keduanya memiliki bahasa dan mata pencaharian yang sama. Bedanya, komunitas adat Baduy Luar telah mengadopsi secara terbatas budaya luar.


Mengutip situs resmi Pemprov Banten, Suku Baduy Dalam merupakan suku asli Sunda Banten yang masih menjaga tradisi anti modernisasi, baik cara berpakaian maupun pola hidup lainnya. Suku Baduy-Rawayan tinggal di kawasan Cagar Budaya Pegunungan Kendeng seluas 5.101,85 hektar di daerah Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak.


Perkampungan masyarakat Baduy umumnya terletak di daerah aliran Sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng. Daerah ini dikenal sebagai wilayah tanah titipan dari nenek moyang, yang harus dipelihara dan dijaga baik-baik, serta tidak boleh dirusak.


Berbeda dengan suku Baduy Luar, komunitas Baduy Dalam terkesan lebih tertutup dan mereka tetap memegang teguh adat asli leluhur. Misalnya, mereka tidak diperbolehkan memiliki atau menyimpan benda 'modern' atau benda asing yang ditabukan oleh adat. Mereka juga tidak diperbolehkan naik atau mengendarai kendaraan bermotor apa pun.


Sehingga, ke mana pun dan sejauh apapun mereka pergi hanya berjalan kaki. Warga Baduy Dalam juga tidak diperbolehkan merokok dan tidak memakai sabun untuk mandi. (Rpblka)

Tags

Posting Komentar

0Komentar
Posting Komentar (0)